Satu Perjuangan, ukhuwah dan salam
Ukhuwah bukan hanya sekedar kata-kata indah dalam sms-sms atau pembicaraan kita, namun kenyataannya kita masih jauh dari konsep ukhuwah yang indah itu.
Ukhuwah bukan sebuah “basa-basi”. Ukhuwah bermula dari kejujuran hati kita, bermula niat kita saling mencintai karena Allah
Ketika salam hanya ter-tebar pada “segolongan tertentu kaum muslimin”
Ketika salam hanya diperuntukkan bagi “ikhwan” yang tak ishbal dan berjanggut saja atau “akhwat” yang berkerudung lebar saja.
Ketika “kasih sayang mesra salam karena Allah” amat kelu dan malas kita mulai menebarkannya
Ketika salam hanya diperuntukkan bagi para dai, dan sangat janggal bagi para “muslim yang awam”
Cobalah buka hati dan pikiran kita, sadari kekhilafan ini wahai para dai.
Tanyakan pada hati kita, apa yang kita perjuangankan selama ini???
“bukan fikrah partai, bukan fikrah sebuah jamaah yang taklid buta pada prinsip-prinsip pendirinya, bukan fikrah hizb-hizb pemecah belah dan pembuat bingung umat Islam”
“yang seharusnya kita perjuangkan adalah Fikrah yang selamat (firqotunnajiyyah) yakni fikrah Rosulullah SAW dan para sahabatnya, fikrah yang adil bagi setiap muslim, fikrah para salaf dalam memandang hakikat hidup dan mati, fikrah para ulama hadits yang netral, yang non-hizbiyun, non-partai
Mari kita simak dalil-dalil dari alquran dan hadits berikut ini
Kenal-Mengenal terhadap Sesama Insan
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ (13)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetetahui lagi Maha Mengenal.”
- Al-Hujurat, 49: 13
Bersaudara karena Allah
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (10) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (11) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ (12)
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.
Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
- Al-Hujurat, 49: 10-12
Tersenyum
عَنْ أَبِي ذَرٍّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَأَمْرُكَ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيُكَ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وَإِرْشَادُكَ الرَّجُلَ فِي أَرْضِ الضَّلَالِ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَبَصَرُكَ لِلرَّجُلِ الرَّدِيءِ الْبَصَرِ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَإِمَاطَتُكَ الْحَجَرَ وَالشَّوْكَةَ وَالْعَظْمَ عَنْ الطَّرِيقِ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَإِفْرَاغُكَ مِنْ دَلْوِكَ فِي دَلْوِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ .
Dari Abu Dzar, ia telah berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “Senyummu pada wajah saudaramu adalah sedekah, ajakanmu kepada kebaikan dan pencegahanmu terhadap keburukan adalah sedekah, petunjukmu kepada orang yang tersesat yang bertanya kepadamu adalah sedekah, penyingkiranmu akan batu, duri, dan tulang dari jalan adalah sedekah, penuanganmu dari bejanamu kepada bejana saudaramu adalah sedekah.”
- HR at-Tirmidzi (1956). Disahkan al-Albani dalam ash-Shahihah (II: 572).
Menyebarkan Salam
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى أَمْرٍ إِذَا أَنْتُمْ فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ وَفِي الْبَاب عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ وَشُرَيْحِ بْنِ هَانِئٍ عَنْ أَبِيهِ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَالْبَرَاءِ وَأنَسٍ وَابْنِ عُمَرَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Dari Abu Hurairah, ia telah berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “Demi Dzat yang dirinya berada di tangan-Nya, kalian tidak akan masuk surga sehingga kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman (dengan sempurna) sehingga kalian saling mencintai. Maukah kalian kuberitahu sesuatu yang jika kalian kerjakan, niscaya kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.”
- HR at-Tirmidzi (2688)
إن السلام اسم من أسماء الله تعالى ، وضعه في الأرض ، فأفشوا السلام بينكم .
“Sesungguhnya as-Salam (Maha Pemberi Keselamatan) adalah salah satu nama dari nama-nama Allah yang Maha Tinggi yang diletakkan-Nya di bumi. Maka sebarkanlah salah di antara kalian.”
- Ash-Shahihah (I: 184)
يا أيها الناس ! أفشوا السلام ، وأطعموا الطعام ، وصلوا الأرحام ، وصلوا بالليل والناس نيام ؛ تدخلوا الجنة بسلام .
“Wahai manusia! Sebarkanlah salam, berikanlah makan (yang membutuhkan), sambunglah kekerabatan, dan shalatlah di waktu malam ketika manusia sedang tidur, niscaya kalian akan memasuki surga dengan selamat.”
- Ash-Shahihah (II: 569)
اعبدوا الرحمن ، وأطعموا الطعام ، وأفشوا السلام ؛ تدخلوا الجنة بسلام .
“Sembahlah Yang Maha Pengasih, berikanlah makan, sebarkanlah salam, (niscaya) kalian akan masuk surga dengan selamat.”
- Ash-Shahihah (II: 571)
أطعموا الطعام ، وأفشوا السلام ، تورثوا الجنان .
“Berikanlah makanan dan sebarkanlah salam, (niscaya) kalian akan mewarisi surga.”
- Ash-Shahihah (III: 1466)
أفشوا السلام تسلموا .
“Sebarkanlah salam, (niscaya) kalian akan selamat.”
- Ash-Shahihah (III: 1493)
أفشوا السلام ، وأطعموا الطعام ، وكونوا إخوانا كما أمركم الله .
“Sebarkanlah salam, berikanlah makanan, dan jadilah kalian bersaudara sebagaimana telah diperintahkan Allah kepada kalian.”
- Ash-Shahihah (IV: 1501)
Memberi Salam
عن أبي هريرة ، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ” حق المسلم على المسلم ست ” . قيل: وما هي [ يا رسول الله ] ؟ قال: ” إذا لقيته فسلم عليه ، وإذا دعاك فأجبه ، وإذا استنصحك فانصح له ، وإذا عطس فحمد الله فشمتهن وإذا مرض فعده ، وإذا مات فاصحبه ( وفي الرواية الأخرى: فاتبعه ) “
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau telah bersabda: “Kewajiban seorang muslim terhadap muslim yang lain ada enam.” Ada yang bertanya: “Dan apakah itu [wahai Rasulullah]?” Beliau menjawab: “Memberi salam jika berjumpa dengannya, memenuhi undangannya jika ia mengundangmu, menasehatinya jika ia memintaimu nasehat, mendoakannya jika ia bersin kemudian memuji Allah, menjenguknya jika ia sakit, dan melayatnya (dan dalam riwayat lain: mengiringi jenazahnya) jika ia meninggal.”
- HR Bukhari dalam Adab al-Mufrad (991). Dishahihkan al-Albani dalam Shahih Adab al-Mufrad (766).
Keutamaan yang Memulainya
Dari Abu Umamah, ia telah berkata: Ada yang bertanya: “Wahai Rasulullah! Dua orang lelaki bertemu, siapa di antara keduanya yang memulai memberi salam?” Maka beliau menjawab: “Yang paling utama dari keduanya menurut Allah.”
- HR at-Tirmidzi (2694), Kitab Permohonan Izin dan Adab dari Rasulullah, Pasal Dalil tentang Keutamaan Orang yang Memulai Memberi Salam. Beliau berkata: “Ini adalah hadits hasan”.
Dari Abu Umamah, ia telah berkata: Telah bersabda Rasulullah SAW: “Sesungguhnya manusia yang paling utama menurut Allah [Ta’ala] adalah yang paling awal (dari mereka dalam) memberi salam.”
- HR Abu Dawud (5197), Kitab Adab, Pasal Tentang Keutamaan Orang yang Memulai Memberi Salam. Dishahihkan al-Albani dalam ash-Shahihah (VII: 3382), Takhrij al-Misykah (III: 4646), Shahih at-Targhib (III: 2703), dan Shahih al-Jami (I: 2011).
Menjawab Salam Sepadan atau Lebih Baik
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا (86)
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu. Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.”
- An-Nisa, 4: 86
خمس من حق المسلم على المسلم: رد التحية ، وإجابة الدعوة ، وشهود الجنازة ، وعيادة المريض ، وتشميت العاطس إذا حمد الله .
“Lima kewajiban seorang muslim tehadap muslim yang lain: menjawab salam, memenuhi undangan, melayat jenazah, menjenguk orang sakit, dan mendoakan orang yang bersin jika memuji Allah.”
- Ash-Shahihah (IV: 1832)
Hadiah-Menghadiahi
عن أبي هريرة ، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ” تهادوا تحابوا ” .
Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau telah bersabda: “Hadiah-menghadiahilah kalian, (niscaya) kalian akan saling mencintai.”
- HR al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (594). Dihasankan Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Adab al-Mufrad (463), al-Irwa (1601), dan Shahih al-Jami (I: 3004).
Empati kepada Saudara
عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
Dari Anas radhiyallahu anhu, dari Nabi SAW, beliau telah bersabda: “Tidak sempurna iman salah satu dari kalian sehingga ia: cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri (berempati bagi saudaranya). “
- HR al-Bukhari (13)
Sikap terhadap yang Berbeda Usia
“Bukan termasuk golongan kami siapa yang tidak menyayangi yang lebih muda dan menghormati yang lebih tua.”
- Ash-Shahihah (V: 2196)
Betapa banyak kita temui anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kita untuk menyebarkan salam. Sebagaimana disampaikan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيْلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَسَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ
“Hak seorang muslim atas muslim yang lain ada enam.” Beliau pun ditanya, “Apa saja, ya Rasulullah?” Jawab beliau, “Jika engkau bertemu dengannya, ucapkan salam kepadanya. Jika dia memanggilmu, penuhi panggilannya. Jika dia meminta nasihat kepadamu, berikan nasihat kepadanya. Jika dia bersin lalu memuji Allah, doakanlah dia1. Jika dia sakit, jenguklah dia; dan jika dia meninggal, iringkanlah jenazahnya.” (HR. Al-Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162)
Dinukilkan pula oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا، وَلاَ تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman, dan tidak akan sempurna iman kalian hingga kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kalian pada sesuatu yang jika kalian lakukan kalian akan saling mencintai? Sebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim no. 54)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan, dalam hadits ini terdapat anjuran kuat untuk menyebarkan salam dan menyampaikannya kepada seluruh kaum muslimin, baik yang engkau kenal maupun yang tidak engkau kenal. (Syarh Shahih Muslim, 2/35)
Beliau juga menjelaskan bahwa ucapan salam merupakan pintu pertama kerukunan dan kunci pembuka yang membawa rasa cinta. Dengan menyebarkan salam, semakin kokoh kedekatan antara kaum muslimin, serta menampakkan syi’ar mereka yang berbeda dengan para pemeluk agama lain. Di samping itu, di dalamnya juga terdapat latihan bagi jiwa seseorang untuk senantiasa berendah diri dan mengagungkan kehormatan kaum muslimin yang lainnya. (Syarh Shahih Muslim, 2/35)
Al-Bara` bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu menukilkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَفْشُوا السَّلاَمَ تَسْلَمُوْا
“Sebarkanlah salam, niscaya kalian akan selamat.” (HR. Ahmad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 604: hasan)
Maksudnya di sini, kalian akan selamat dari sikap saling menjauh dan pemutusan hubungan, serta akan langgeng rasa saling cinta di antara kalian. Hati kalian pun akan bersatu, dan hilanglah permusuhan serta pertikaian. (Faidhul Qadir, 2/22)
‘Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
اعْبُدُوا الرَّحْمَنَ وَأَطْعِمُوا الطَّعَامَ وَأَفْشُوا السَّلاَمَ تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ بِالسَّلاَمِ
“Ibadahilah Ar-Rahman, berikan makanan dan sebarkan salam, niscaya kalian akan masuk ke dalam surga dengan selamat.” (HR. At-Tirmidzi no. 1855, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi: shahih)
Banyak nukilan ucapan para salaf kita yang shalih yang menunjukkan keutamaan mengucapkan salam. Di antaranya dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ السَّلاَمَ اسْمٌ مِنْ أَسْمَاءِ اللهِ وَضَعَهُ اللهُ فِي اْلأَرْضِ، فَأَفْشُوْهُ بَيْنَكُمْ، إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا سَلَّمَ عَلَى الْقَوْمِ فَرَدُّوا عَلَيْهِ كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَضْلُ دَرَجَةٍ، لِأَنَّهُ ذَكَّرَهُمُ السَّلاَمَ، وَإِنْ لَمْ يُرَدَّ عَلَيْهِ رَدَّ عَلَيْهِ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ وَأَطْيَبُ
“Sesungguhnya As-Salam adalah salah satu nama Allah yang Allah letakkan di bumi, maka sebarkanlah salam di antara kalian. Sesungguhnya bila seseorang mengucapkan salam kepada suatu kaum, lalu mereka menjawab salamnya, maka dia memiliki keutamaan derajat di atas mereka karena dia telah mengingatkan mereka dengan salam. Dan bila tidak dijawab salamnya, maka akan dijawab oleh makhluk yang lebih baik darinya.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 793: shahih secara mauquf, shahih juga secara marfu’)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pernah mengatakan:
أَبْخَلُ النَّاسِ الَّذِي يَبْخَلُ بِالسَّلاَمِ
“Orang yang paling bakhil adalah orang yang bakhil untuk mengucapkan salam.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 795: shahih secara mauquf, shahih juga secara marfu’)
Setelah mengetahui keutamaan amalan ini serta pentingnya dalam kehidupan masyarakat muslimin, tentu tak layak bila kita remehkan. Lebih-lebih berkaitan dengan pendidikan anak-anak kita. Semenjak awal mestinya mereka dikenalkan dan dibiasakan dengan ucapan salam sebagaimana yang diajarkan oleh syariat ini.
Bagaimana mungkin akan kita biarkan anak-anak kita saling mengucapkan salam atau melontarkan sapaan dengan ucapan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau bahkan mengadopsi dari kebiasaan orang-orang kafir? Betapa banyak kaum muslimin yang masih membiasakan anak-anak mereka ketika berpisah melambaikan tangan sambil mengatakan, “Daaag!” Atau ketika bertemu dengan anak-anaknya dia menyapa, “Halo, Sayang!” Begitu pula si anak akan menjawab, “Halo, Papa! Halo, Mama!”
Betapa banyak itu terjadi, dan masih banyak pula gambaran yang lain. Sementara contoh yang begitu gamblang kita dapatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau biasa menyapa dan menyampaikan salam kepada anak-anak para shahabat.
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, pelayan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menghabiskan masa kecilnya dalam bimbingan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini menceritakan:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى غِلْمَانٍ فَسَلَّمَ عَلَيْهِمْ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertemu dengan anak-anak kecil lalu beliau mengucapkan salam kepada mereka.” (HR. Muslim no. 2168)
Peristiwa yang disaksikan oleh Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ini membekas dalam dirinya, sehingga Anas pun melakukannya. Diriwayatkan oleh Tsabit Al-Bunani rahimahullahu, bahwa dia pernah berjalan bersama Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, melewati anak-anak kecil. Lalu Anas mengucapkan salam kepada mereka, dan mengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu biasa melakukannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6247 dan Muslim no. 2168)
Perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini diikuti pula oleh sahabat yang lainnya. Diceritakan oleh ‘Anbasah bin ‘Ammar rahimahullahu:
رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ يُسَلِّمُ عَلَى الصِّبْيَانِ فِي الكُتَّابِ
“Aku pernah melihat Ibnu ‘Umar memberi salam kepada anak-anak kecil di kuttab2.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 797: shahihul isnad)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu menjelaskan tentang hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu di atas: “Hadits ini menunjukkan disenanginya memberi salam kepada anak-anak yang berusia tamyiz.” (Syarh Shahih Muslim, 14/148)
Al-Hafizh rahimahullahu menukil penjelasan Ibnu Baththal rahimahullahu: “Dalam pemberian salam kepada anak-anak ini terdapat pendidikan terhadap adab-adab syariat. Di dalamnya terkandung pula sikap menjauhi kesombongan pada diri orang-orang yang besar, perilaku tawadhu’, serta lemah-lembut kepada orang-orang di sekitar.” (Fathul Bari, 11/40-41)
Memperdengarkan Ucapan Salam
Ketika menyampaikan salam, hendaknya seseorang memperdengarkan ucapan salamnya. Diriwayatkan oleh Tsabit bin ‘Ubaid rahimahullahu:
أَتَيْتُ مَجْلِسًا فِيْهِ عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ فَقَالَ: إِذَا سَلَّمْتَ فَأَسْمِعْ، فَإِنَّهَا تَحِيَّةٌ مِنْ عِنْدِ اللهِ مُبَارَكَةٌ طَيِّبَةٌ
“Aku pernah mendatangi suatu majelis yang di situ ada ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma. Maka beliau berkata, ‘Apabila engkau mengucapkan salam, perdengarkan ucapanmu. Karena ucapan salam itu penghormatan dari sisi Allah yang penuh berkah dan kebaikan’.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 769: shahihul isnad)
Ucapan Salam ketika Datang dan Pergi
Anak-anak sudah semestinya dibiasakan untuk mengucapkan salam ketika datang dan pergi. Perlu pula mereka mengetahui, ucapan salam yang lebih utama. Seseorang yang mengucapkan salam dengan sempurna tentu memiliki keutamaan.
Diceritakan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
إِنَّ رَجُلاً مَرَّ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِيْ مَجْلِسٍ، فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. فَقَالَ: عَشْرَ حَسَنَاتٍ. فَمَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ، فَقَالَ: عِشْرُوْنَ حَسَنَةً. فَمَرَّ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ: السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. فَقَالَ: ثَلاَثُوْنَ حَسَنَةً. فَقَامَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ وَلَمْ يُسَلِّمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَا أَوْشَكَ مَا نَسِيَ صَاحِبُكُمْ، إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمُ الْمَجْلِسَ فَلْيُسَلِّمْ، فَإِنْ بَدَا لَهُ أَنْ يَجْلِسَ فَلْيَجْلِسْ، وَإِذَا قَامَ فَلْيُسَلِّمْ، مَا اْلأُوْلَى بِأَحَقَّ مِنَ اْلآخِرَةِ
Ada seseorang datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang berada di suatu majelis. Orang itu berkata, “Assalamu ‘alaikum.” Beliau pun bersabda, “Dia mendapat sepuluh kebaikan.” Datang lagi seorang yang lain, lalu berkata, “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi.” Beliau bersabda, “Dia mendapat duapuluh kebaikan.” Ada seorang lagi yang datang, lalu mengatakan, “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuhu.” Beliau pun bersabda, “Dia mendapat tigapuluh kebaikan.” Kemudian ada seseorang yang bangkit meninggalkan majelis tanpa mengucapkan salam, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan, “Betapa cepatnya teman kalian itu lupa. Jika salah seorang di antara kalian mendatangi suatu majelis, hendaknya dia mengucapkan salam. Bila ingin duduk, hendaknya dia duduk. Bila dia pergi meninggalkan majelis, hendaknya mengucapkan salam. Tidaklah salam yang pertama lebih utama daripada salam yang akhir.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Al-Adabil Mufrad no. 757: shahih)
Yang Muda Memberi Salam pada yang Lebih Tua
Hendaknya anak-anak diajari pula agar memberi salam kepada orang yang lebih tua. Demikian yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ucapan beliau yang dinukilkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu:
يُسَلِّمُ الصَّغِيْرُ عَلَى الْكَبِيْرِ، وَالْمَارُّ عَلَى الْقَاعِدِ، وَالْقَلِيْلُ عَلَى الْكَثِيْرِ
“Yang kecil memberi salam kepada yang besar, yang berjalan memberi salam kepada yang duduk, yang sedikit memberi salam kepada yang banyak.” (HR. Al-Bukhari no.6234 dan Muslim no. 2160)
Ibnu Baththal rahimahullahu mengatakan, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafizh rahimahullahu: “Pemberian salam orang yang lebih muda (kepada yang lebih tua, -pent.) disebabkan hak orang yang lebih tua. Karenanya orang yang lebih muda diperintahkan untuk memuliakannya serta bersikap rendah hati kepadanya.” (Fathul Bari, 11/22)
Mengucapkan Salam ketika Masuk Rumah
Hal yang tak patut ketinggalan dalam pembiasaan salam adalah mengucapkan salam ketika masuk rumah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman di dalam Kitab-Nya yang mulia:
فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوْتًا فَسَلِّمُوْا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللهِ مُبَارَكَةً طَيِِّبَةً
“Apabila kalian memasuki rumah, maka ucapkanlah salam bagi diri kalian sebagai penghormatan dari sisi Allah yang penuh berkah dan kebaikan.” (An-Nur: 61)
Yang dimaksudkan di sini, mencakup rumah miliknya maupun rumah orang lain, baik di rumah itu ada orang ataupun tidak. Makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: “Maka ucapkanlah salam bagi diri kalian”, hendaknya seseorang mengucapkan salam kepada yang lainnya. Karena kaum muslimin itu bagaikan satu individu, dari sisi saling cinta dan saling menyayangi serta mengasihi di antara mereka. Sehingga ucapan salam disyariatkan ketika memasuki semua rumah, tanpa dibedakan rumah yang satu dengan yang lain. (Taisirul Karimir Rahman, hal. 575)
Dijelaskan pula oleh para pendahulu kita yang shalih, di antaranya Mujahid dan Qatadah, “Apabila engkau masuk rumah untuk menemui keluargamu, ucapkanlah salam kepada mereka. Apabila engkau masuk rumah yang tak berpenghuni, ucapkanlah: السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. (Tafsir Ibnu Katsir, 5/431)
Ini perlu dibiasakan pada anak-anak, karena orang yang masuk rumah dengan mengucap salam memiliki keutamaan. Diriwayatkan oleh Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
ثَلاَثَةٌ كُلُّهُمْ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ: (مِنْهَا) وَرَجُلٌ دَخَلَ بَيْتَهُ بِسَلاَمٍ فَهُوَ ضَامِنٌ عَلَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Ada tiga orang yang mendapat jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, (di antaranya) seseorang yang masuk rumahnya dengan mengucapkan salam, maka dia mendapatkan jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (HR. Abu Dawud no. 2494, dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud: shahih)
Menjawab Salam dengan yang Lebih Baik
Tak lepas dari permasalahan ini, anak-anak diajarkan pula cara menjawab salam sebagaimana dituntunkan oleh syariat. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan:
وَإِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوْهَا
“Dan apabila kalian diucapkan salam penghormatan, balaslah dengan yang lebih baik atau balaslah (dengan yang serupa)…” (An-Nisa`: 86)
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullahu menjelaskan, “Apabila seorang muslim mengucapkan salam kepada kalian, balaslah dengan ucapan salam yang lebih utama daripada yang dia ucapkan, atau balaslah sebagaimana yang dia ucapkan. Sehingga membalas dengan menambah ucapan salam itu disunnahkan, dan membalas dengan ucapan yang sama itu diwajibkan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/269)
Demikian yang semestinya dilakukan oleh setiap orangtua dalam menanamkan kebiasaan ini. Begitu pula hendaknya yang ditempuh oleh seorang pengajar yang mendidik anak-anak. Dinasihatkan oleh Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu: “Seorang pengajar apabila memasuki kelas hendaknya mengucapkan salam dengan mengatakan السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ, dan hendaknya dia mengetahui bahwa ini adalah perilaku Islami yang agung, yang memperkuat ikatan cinta dan kepercayaan di antara murid, maupun antara pengajar dengan muridnya.”
Beliau menambahkan: “Tidak sepantasnya salam yang diucapkan itu berupa kalimat ‘selamat pagi’ atau ‘selamat sore’. Namun tidak mengapa bila setelah mengucapkan salam dia ucapkan perkataan itu dengan sedikit perubahan, seperti misalnya ‘Semoga Allah berikan kebaikan padamu pagi ini’, sehingga ucapan itu mengandung makna doa….” (Nida` ilal Murabbiyin wal Murabbiyat, hal. 17)
Disusun oleh Tim Redaksi Nikah
MUKADIMAH
Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat dan karunia-Nya segala amalan shalih bisa terwujud dengan sempurna. Semoga shalawat dan salam tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad SAW, keluarga, para sahabat dan semua orang yang mengikuti mereka dengan baik sampai hari kiamat.
Dalam beribadah kepada Allah, seorang muslim tentu sangat mengharapkan kebaikan dari Allah. Ketika dia bersyukur, bersabar ataupun ketika bertaubat dari kesalahan, pasti kebaikanlah yang dituju. Inilah sesungguhnya niat ikhlas yang ada pada diri seorang muslim ketika melakukan suatu amalan. Dia hanya mengharapkan kebaikan dari Allah SWT, tidak dari selain-Nya.
Akan tetapi, niat ikhlas semata tidaklah cukup untuk memenuhi syarat diterimanya amal ibadah seseorang. Selain ikhlas, tentu harus ada kesesuaian amal yang dilakukan dengan tuntunan syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Inilah dua hal yang dikenal sebagai dua syarat diterimanya amal ibadah di sisi Allah SWT.
Dua syarat ini bukanlah syarat yang dibuat-buat oleh manusia. Akan tetapi lebih dari itu, dua syarat ini sesungguhnya didapatkan dari petunjuk Allah dan Rasul-Nya SAW dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah.
Di antara petunjuk wahyu akan syarat pertama, yaitu keikhlasan dalam beramal, adalah firman Allah SWT,
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (al-Bayyinah: 5)
Dan firman-Nya
“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.” [al-An’aam: 88]
Dan petunjuk akan syarat kedua, yaitu kesesuaian amal dengan tuntunan Rasulullah SAW, adalah sabda beliau,
“Barangsiapa melakukan amalan yang tidak ada tuntutannya dari kami, maka tertolak.” [Muttafaq ‘alaih]
Pantas saja, jika Abdulullah bin Mas’ud pernah mengatakan, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun dia tidak mendapatkannya.”
Dari sini saja kita bisa melihat, bahwa untuk memperoleh kebaikan yang kita inginkan tentu kita harus memiliki kuncinya. Dengan kunci tersebut, kita bisa membuka berbagai pintu-pintu kebaikan.
Dan tanpa kunci itu, kebaikan tidak akan bisa diperoleh. Maka sangat penting kiranya bagi kita untuk mengetahui kunci-kunci kebaikan yang begitu banyak.
KUNCI-KUNCI
KEBAIKAN
Ibnu Qayyim al-Jauziyah berkata,
“Allah telah menjadikan kunci sebagai pembuka bagi setiap perkara yang dituntut. Dia menjadikan kunci shalat adalah besuci, sebagaimana sabda Nabi SAW,
“Kunci shalat adalah bersuci.”1
Dan kunci haji adalah ihram. Kunci kebajikan adalah kejujuran. Kunci surga adalah tauhid. Kunci ilmu adalah sikap yang baik dalam bertanya dan mendengar. Kunci pertolongan dan kemenangan adalah kesabaran. Kunci bertambahnya nikmat adalah syukur. Kunci kewalian adalah kecintaan dan dzikir. Kunci keberuntungan adalah takwa. Kunci taufiq adalah raghbah (rasa harap yang disertai dengan amalan) dan rahbah (rasa takut yang disertai dengan amalan).
Kunci ijabah (sambutan Allah) adalah doa. Kunci cinta akhirat adalah zuhud terhaap dunia. Kunci iman adalah memikirkan perkara yang Allah serukan untukdifikirkan oleh hamba-hambaNya. Kunci untuk menjumpai Allah adalah ketundukan hati dan keselamatan hati untuk-Nya, ikhlas kepada-Nya dalam cinta, benci, berbuat dan meninggalkan sesuatu. Kunci hidupnya hati adalah tadabbur (memperhatikan dan merenungi) al-Qur’an, merendahkan diri waktu sahar (waktu malam sebelum fajar) dan meninggalkan dosa.
Kunci mendapatkan rahmat adalah berbuat ihsan dalam beribadah kepada al-Khaliq (Sang Pencipta) dan berusaha memberi manfaat kepada hamba-hambaNya. Kunci rezeki adalah usaha yang disertai dengan istighfar (permohonan ampun kepada Allah) dan takwa, kunci kemuliaan adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Kunci persiapan diri untuk akhirat adalah memperpendek angan-angan. Dan kunci segala kebaikan adalah kecintaan kepada Allah dan negri akhirat. Sedangkan kunci segala keburukan adalah cinta dunia dan panjang angan-angan.
Ini adalah permasalahan agung yang merupakan permasalahan ilmu paling bermanfaat. Yaitu mengetahui kunci-kunci kebaikan dan keburukan. Tidak ada yang mendapatkan taufik untuk mengetahui dan memperhatikannya kecuali orang yang memiliki bagian dan taufik yang besar.”2
Apa yang beliau sebutkan di atas, tidaklah mencakup seluruh kunci-kunci kebaikan. Karena kita tahu bahwa kebaikan itu sendiri tidak terbatas pada apa yang beliau sebutkan. Meski demikian, perkataan itu cukup untuk memberikan gambaran kepada kita bahwa setiap kebaikan pasti ada kunci-kuncinya. Dan beliau juga menyebutkan perkara-perkara agung yang sangat dibutuhkan seorang muslim yang beriman.
Di sana masih ada kunci-kunci kebaikan yang disebutkan pada ulama yang lain. Di antaranya3,
Aun bin Abdillah berkata, “Perhatian seorang hamba terhadap dosanya akan mendorongnya untuk meninggalkan dosa itu. Dan penyesalannya atas dosa itu adalah kunci untuk bertaubat. Seorang hamba senantiasa memperhatikan dosa yang dilakukannya sehingga hal itu menjadi lebih bermanfaat baginya dari pada sebagian kebaikan-kebaikannya.”4
Sufyan bin Uyainah berkata, “Tafakkur (berfikir) adalah kunci rahmat. Tidakkah kamu lihat seseorang berfikir lalu bertaubat.”5
Al-Hasan berkata, “Kunci lautan adalah perahu-perahu. Kunci bumi adalah jalan-jalan. Sedangkan kunci langit adalah doa.”6
Sahl bin Abdillah berkata, “Meninggalkan hawa nafsu adalah kunci surga, berdasarkan firman Allah ta’ala,
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya)7.”8
Sufyan berkata, “Dahulu dikatan, diam yang lama adalah kunci ibadah.”9
Syaikhul Islam berkata, “Maka kejujuran adalah kunci segala kebaikan, sebagaimana dusta adalah kunci segala keburukan.”10
Beliau juga berkata, “Doa adalah kunci segala kebaikan.”11
Maka dengan memohon pertolongan kepada Allah, kita akan perinci sebagian dari kunci-kunci kebaikan tersebut, dengan harapan bisa memberi manfaat bagi kita semua.
1 Riwayat Abu Daud (no. 61) dan at-Tirmidzi (no. 3). Dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’ (no. 5885)
2 Al-Jawabul Kafi (hlm. 100)
3 Nukilan-nukilan berikut diambil dari risalah Syekh Abdurrazaq al-Badr yang berjudul Mafatihul Khair.
4 Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (4/251)
5 Diriwayatkan oleh Abu asy-Syaikh dalam al-Azhomah (no. 39)
6 Disebutkan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya (14/53)
7 Surat an-Naziat ayat 40-41.
8 Disebutkan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya (19/135)
9 Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam ash-Shomt (no. 136)
10 Al-Istiqomah (1/467)
11 Lihat Majmu’ al-Fatawa (10/661)
TAUHID:
KUNCI SURGA
Kebaikan terpuncak bagi seseorang yang mengimani adanya kampung akhirat adalah menjadi penghuni negri keselamatan, kenikmatan dan kebahagiaan abadi. Dan negri inilah yang menjadi tujuan bagi berbagai pemeluk agama yang ada. Tidak hanya kaum muslimin yang menginginkan hidup di dalam surga, bahkan orang-orang Yahudi ataupun Nasrani mengklaim bahwa surga hanya layak ditempati oleh golongan mereka saja. Allah berfirman,
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata, ‘Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani.”
Akan tetapi, Allah langsung membantah mereka dengan firman-Nya dalam ayat yang sama,
“Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah, ‘Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar.” [al-Baqarah: 111]
Iya, dakwaan mereka langsung Allah bantah dan dinyatakan sebagai angan-angan yang kosong. Karena memang surga yang mereka klaim itu sesungguhnya memiliki kunci yang tidak mungkin dimiliki oleh orang yang hanya sekedar mengaku-aku tanpa bukti kepemilikan. Maka Allah pun memerintahkan agar mereka menunjukkan bukti bahwa mereka adalah benar-benar layak masuk surga.
Lalu pada aya berikutnya, Allah menjelaskan apa yang bisa menjadi bukti bahwa seseorang layak masuk surga. Allah berfirman,
“(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat ihsan, maka baginya pahala pada sisi Rabbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” [al-Baqarah: 112]
Syekh as-Sa’di menjelaskan ayat ini dengan berkata, “Barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, maksudnya, barangsiapa mengikhlaskan (memurnikan) amalannya hanya untuk Allah, dengan mengarahkan hatinya hanya kepada-Nya. Sedang ia bersamaan dengan keikhlasannya itu, berbuat ihsan dalam beribadah kepada Rabbnya, yaitu dengan beribadah sesuai dengan syariat-Nya. Maka hanya mereka itulah orang-orang yang berhak menjadi penghuni surga.”12
Sesungguhnya apa yang Allah sebutkan dalam ayat tersebut sebagai bukti seseorang akan masuk surga, tidak lain dan tidak bukan adalah implementasi dari kalimat tauhid laa ilaaha illallah Muhammad rasulullah.
Kemudian, telah disebutkan dalam Shaih Muslim, dari hadits Umar bin al-Khatthab, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda,
“Tidak ada seorang pun dari kalian yang berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian dia mengucapkan ‘Asyhadu allaa ilaaha illallah wa anna Muhammadan abduhu wa rasuluhu’ melainkan dibuka baginya pintu-pintu surga yang berjumlah delapan. Dia akan masuk dari pintu mana saja yang dia kehendaki.”3
Syekh Abdurrazaq al-Badr – hafizhahullah – menegaskan, “Ini adalah dalil yang shahih lagi tegas menunjukkan bahwa pintu-pintu surga yang berjumlah delapan akan dibuka dengan tauhid, dibuka dengan syahadat laa ilaaha illallah. Adapun orang yang tidak melaksanakan tauhid, maka keadaan mereka sebagaimana yang Allah firmankan,”
“Sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum.” [al-A’raf: 40]14
Maka jelaslah bahwa kunci surga adalah tauhid, yaitu pelaksanaan kalimat syahadat laa ilaaha illallah Muhammad rasulullah.
Dan harus kita ketahui bahwa kunci yang agung ini tidak akan memberikan manfaat jika hanya diucapkan saja tanpa pemenuhan hak-haknya. Betapa banyak kaum munafikin yang pada zaman Nabi SAW mengucapkan kalimat yang agung ini, namun karena mereka tidak memenuhi hak-haknya, mereka tetap tidak selamat dari siksaan neraka. Bahkan mereka berada di dasar neraka yang paling dalam. Sebagaimana firman Allah tentang mereka,
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.” [an-Nisa: 145]
Maka seorang muslim mukmin, yang ingin memiliki kunci ini dan mengambil manfaat darinya, dia harus memenuhi hak-hak dari kalimat ini. Dia harus memenuhi rukun dan syarat dari kalimat tauhid yang dia ucapkan.
Secara ringkas, rukun laa ilaaha illallah ada dua, pertama meniadakan adanya hak untuk diibadahi pada dzat selain Allah. Dan yang kedua adalah menetapkan dan melakukan peribadahan hanya kepada Allah. Sedangkan rukun syahadat Muhammad rasulullah, pertama mengakui bahwa beliau adalah manusia, hamba Allah yang tidak berhak diibadahi. Dan yang kedua menetapkan bahwa beliau adalah utusan Allah, sehingga beliau tidak boleh diremehkan dan dilecehkan, bahkan harus ditaati.
Adapun syarat laa ilaaha illallah, para ulama menyebutkan ada tujuh: ilmu yang meniadakan kebodohan, keyakinan yang menolak keragu-raguan, penerimaan yang meniadakan penolakan, ketundukan yang meniadakan pengabaian, ikhlas yang menolak kesyirikan, kejujuran yang meniadakan kedustaan, dan kecintaan yang menolak kebencian.
Sedangkan syarat syahadat Muhammad rasulullah adalah, mengakui dan meyakini kerasulan beliau secara lahir dan batin, meneladani beliau dengan cara mengamalkan kebenaran yang beliau bawa dan meninggalkan kebatilan yang beliau larang, membenarkan semua berita yang beliau sampaikan, mencintai beliau lebih dari kecintaan terhadap diri sendiri, harta, anak, orangtua, dan seluruh manusia, dan mendahulukan perkataan beliau atas perkataan setiap orang serta mengamalkan sunnah (tuntunan) beliau.15
12 Taisirul Karimir Rahman fi Tafsiri Kalamil Mannan, hlm. 63.
13 Shohih Muslim (no. 234)
14 Mafatihul Khair, hlm. 13
15 Tentang rukun dan syarat dua kalimat syahadat ini, telah dijelaskan oleh Syekh Shalilh al-Fauzan dalam Aqidatul Tauhid hlm. 40-45
SYUKUR:
KUNCI NIKMAT
Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti mendapatkan nikmat dari Allah. Akan tetapi sayang sekali, hanya sedikit dari mereka yang mau bersyukur kepada Allah atas nikmat ini. Padahal jika mereka bersyukur, kenikmatan yang ada akan bertambah berlipat-lipat, karena syukur adalah kunci pertambahan rezeki. Allah berfirman,
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.” [Ibrahim: 7]
Jika seseorang memahami perkara yang agung ini, sungguh dia telah mendapatkan kunci yang sangat bermanfaat untuk memperoleh tambahan kebaikan-kebaikan. Karena semua kebaikan yang didapati seorang manusia pada hakikatnya hanyalah kenikmatan yang Allah berikan.
Rezeki yang didapati seorang hamba misalnya, Allah tidak akan memberi tambahan rezeki kepadanya kecuali jika dia mau bersyukur kepada Allah atas rezeki tersebut. Ilmu yang diperoleh seorang penuntut ilmu juga merupakan kenikmatan dari Allah.
Maka jika seorang penuntut ilmu mensyukuri Allah atas ilmu yang telah diperolehnya, niscaya Allah akan memberi tambahan ilmu kepadanya. Demikian juga dengan taufik atau hidayah keimanan yang merupakan nikmat terbesar kepada seorang hamba, akan Allah tambahkan dan tingkatkan keimanan seseorang, manakala dia mensyukurinya.
Dan tentu saja syukur yang dimaksud dilakukan dengan hati, lisan dan anggota badan. Dengan hati, kita mengakui bahwa semua kebaikan itu semata-mata pemberian dan anugrah dari Allah.
Jika ada seseorang yang menganggap bahwa dia mendapat nikmat itu karena memang dia berhak, atau karena kepandaian dan keuletannya, atau karena usahanya, maka ini merupakan salah satu bentuk pengingkaran terhadap nikmat Allah, seperti yang telah Allah sebutkan tentang keadaan Qarun.
Dengan lisan, seorang hamba mengucap syukur kepada-Nya, berterima kasih kepada-Nya dan juga disyariatkan baginya memperbincangkan kenikmatan yang Allah anugrahkan kepadanya, sebagai bentuk syukur kepada-Nya.
Adapun dengan anggota badan, maka dia mempergunakan nikmat yang Allah berikan itu dalam berbagai ketaatan yang disyariatkan. Misalnya, orang yang diberi kemudahan rezeki berupa harta, maka dia bersyukur dengan banyak bersedekah dan mempergunakan harta itu dalam ketaatan, tidak menghambur-hamburkannya, dan tidak mempergunakannya dalam kemaksiatan. Orang yang diberi ilmu, maka dia amalkan ilmu tersebut, dan dia ajarkan kepada orang lain.
KEMULIAAN
ADA PADA KETAATAN
Kemuliaan hidup adalah salah satu perkara yang dicari manusia. Tidak ada seorang manusia pun yang menginginkan kehinaan dalam hidupnya. Hanya saja, timbangan kemuliaan mereka berbeda-beda sesuai dengan tingkat pemahaman mereka terhadap hidup ini.
Dalam menyikapi perbedaan pandangan seperti ini, tentu sebagai seorang mukmin yang meyakini bahwa kehidupan ini berada di bawah kekuasaan tunggal Allah SWT, dia akan mengembalikannya kepada bagaimana sesungguhnya Allah memandang permasalahan ini. Karena Allah telah berfirman,
“Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.” [Fathir: 10]
Jika demikian, maka sesungguhnya Allah telah menyebutkan kunci kemuliaan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.” [al-Hujurat: 13]
Jadi, kemuliaan sesungguhnya hanya ada pada ketakwaan. Yang mana ketakwaan ini terwujud dengan menaati Allah SWT dan Rasul-Nya SAW, dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-laranganNya. Sebagian orang ada yang mencari kemuliaan hidup dengan meniru-niru orang-orang barat yang mana sesungguhnya mereka adalah orang-orang kafir. Cara berpakaian, kebiasaan, akhlak, tingkah laku, gaya hidup sampai pada pemikiran pun mereka tidak bisa dibedakan.
Padahal merupakan salah satu bentuk ketakwaan dan ketaatan kita kepada Allah dan Rasul-Nya SAW, adalah tidak menyerupai orang-orang kafir dalam berbagai hal yang menjadi kekhususan mereka. Rasulullah SAW bersabda,
“Aku diutus di hadapan hari kiamat, dengan membawa pedang sampai hanya Allah semata yang diibadahi, tanpa sekutu bagi-Nya. Dan rizkiku telah dijadikan berada di bawah tombakku. Dan kehinaan serta kerendahan dijadikan bagi siapa saja yang menyelisihi perkaraku. Dan barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk mereka.”16
16 Di-shahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’, no. 2831
KUNCI REZEKI
Terkadang, seorang manusia rela mengorbankan agama demi mendapatkan secuil rezeki. Mereka berdalih dengan perkataan yang sesungguhnya tidak pantas diucapkan, “mencari rezeki yang haram saja susah apa lagi yang halal.”
Seandainya manusia meyakini bahwa rezeki telah ditetapkan oleh Allah, dan dia mengetahui kunci-kuncinya, niscaya dia akan sadar bahwa Allah sangat pemurah dalam membagi-bagi rezeki, dan sesungguhnya mencari rezeki yang halah jauh lebih mudah ketimbang rezeki yang haram.
Pada perkataan Ibnu Qayyim di atas, kita dapati beliau menjelaskan bahwa kunci rezeki adalah usaha yang dibarengi dengan istighfar dan takwa.
Usaha sebagai kunci rezeki tentunya telah jelas bagi setiap orang yang berakal sehat. Karena tatkala seseorang ingin mendapatkan rezeki berarti dia harus berusaha mengais rezeki. Namun yang menjadi focus seorang mukmin dalam berusaha adalah hendaknya usaha yang dilakukan masih dalam daerah usaha yang dibolehkan (halal).
Dan daerah ini sungguh sangat luas sekali, karena ada suatu ketentuan dalam masalah semacam ini, selama tidak ada larangan dari syariat maka usaha itu dibolehkan. Inilah yang menjadikan seorang mukmin berkeyakinan bahwa yang halal lebih mudah dari pada yang haram, karena usaha yang halal itu jauh lebih banyak dari pada yang haram.
Adapun istighfar sebagai kunci rezeki, maka bisa dipahami dari firman Allah SWT,
“Maka aku (Nabi Nuh) katakan kepada mereka, ‘Mohonlah ampun kepada Rabbmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampung, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai.” [Nuh: 10-12]
Sedangkan takwa, secara tegas Allah telah menyatakan,
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya.” [ath-Thalaq: 2-3]
Maka kepada orang yang masih menganggap usaha haram lebih mudah dari usaha halal, kita katakan, bertakwalah dan tinggalkanlah usaha haram, niscaya Allah akan memberikan jalan keluar dan rezeki yang tidak disangka-sangka.
KUNCI
KEHIDUPAN HATI
Hati manusia, tak ubahnya seperti jasad manusia, ada yang sehat, sakit dan ada pula yang mati. Akan tetapi, kesehatan hati jauh lebih penting jika dibandingkan dengan kesehatan badan. Hal ini karena kesehatan hati merupakan faktor utama kebaikan lahiriah seorang hamba. Rasulullah SAW telah bersabda,
“Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, niscaya akan baik seluruh tubuhnya, namun jika segumpal daging itu rusak, niscaya menjadi rusak pula seluruh tubuhnya. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” [Muttafaq ‘alaihi]
Maka perhatian seorang mukmin terhadap hatinya, tidak boleh ditempatkan pada posisi yang remeh. Jika hati itu telah mati, segala bentuk kebaikan dan kebenaran tidak akan bisa diterima oleh seseorang.
Di sinilah kita dituntut untuk mengetahui kunci kehidupan hati, jika kita ingin mendapatkan dan menerima kebaikan yang banyak.
Pada perkataan Ibnul Qayyim di atas, beliau telah menjelaskan bahwa kunci kehidupan hati adalah dengan mentadabburi al-Qur’an, merendahkan diri di akhir malam, dan meninggalkan dosa. Sungguh benar apa yang beliau katakan. Al-Qur’an adalah sumber kehidupan hati. Allah SWT berfirman,
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu ruh (al-Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-kitab (al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami, dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.”
Syekh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Allah menamai al-Quran dengan ruh, karena dengan ruh jasad bisa hidup sedangkan al-Qur’an akan menghidupkan hati dan jiwa-jiwa. Dengan al-Qur’an, kamaslahatan dunia dan agama akan menjadi hidup, karena dalam al-Qur’an terdapat banyak kebaikan dan ilmu yang melimpah.”17
Makanya, sebagai obat hati yang merasa gundah gelisah, Rasulullah SAW menganjurkan kita berdoa kepada Allah agar menjadikan al-Qur’an ini sebagai penyejuk hati dan cahaya bagi dada. Yaitu dengan doa,
“Ya Allah, sesungguhnya aku adalah hamba-Mu, akan hamba-Mu (Adam), dan anak hamba perempuan-Mu (Hawa). Ubun-ubunku berada di tangan-Mu, hukum-Mu berlaku padaku, dan ketetapan-Mu adil pada diriku. Aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang menjadi milik-Mu, yang Engkau menamai diri-Mu dengannya, atau yang Engkau turunkan dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan dalam ilmu gaib yang ada di sisi-Mu, maka aku mohon dengan itu agar Engkau jadikan al-Qur’an sebagai penyejuk hatiku, cahaya bagi dadaku, pelipur kesedihanku, dan penghilang bagi kesusahanku.”18
Begitu pula dengan menjauhi dosa-dosa, adalah salah satu sebab atau kunci hidupnya hati seorang hamba. Karena dosa adalah titik hitam yang mengotori hati manusia. Semakin banyak titik itu melekat dalam hati, maka akan menjadi tutupan kelam yang bisa mematikan hati manusia.
17 Taisirul Karimir Rahman, hlm. 762
18 Riwayat Ahmad dalam Musnad-nya.
ILMU:
KUNCI UTAMA
Setelah kita mengetahui sebagian dari kunci kebaikan di atas, maka di sana ada satu kunci utama sebagai pintu pertama untuk mendapatkan kunci-kunci tersebut.
Tidak lain kunci utama itu adalah ilmu. Karena dengan ilmu, seseorang akan mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang mendatangkan cinta dan ridha Allah, dan mana yang akan membawa pada kemurkaan-Nya. Dan dimulai dengan ilmu, seseorang bisa melakukan berbagai amalan. Imam al-Bukhari berkata,
“Ilmu itu (harus ada) sebelum berkata dan beramal.”
Dan Rasulullah SAW sendiri telah menegaskan bahwa orang yang dikehendaki baiknya oleh Allah, adalah orang yang diberi pemahaman ilmu agama. Beliau bersabda,
“Barangsiapa yang Allah kehendaki ada kebaikan padanya, niscaya akan Dia pahamkan orang itu dalam perkara agama.” [Muttafaq ‘alahi]
Oleh karena itulah, Allah SWT memerintahkan Nabi-Nya SAW untuk meminta tambahan berupa ilmu. Allah SWT berfirman,
“Ya Rabbku, tambahkanlah kepadaku ilmu.” [Thaha: 114]
“Wahai Allah, berikanlah manfaat kepada kami dengan apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami, dan ajarkanlah kepada kami apa yang bermanfaat bagi kami, dan berikanlah tambahan ilmu kepada kami.”